MEWUJUDKAN
PROFESI ADVOKAT SEBAGIA PROFESI YANG MULIA
DALAM
PENEGAKAN HUKUM
By Ac Fandy Hayoto
Advokat
adalah profesi yang dicirikan black’s law dictionary sebagai
berikut : “ One who Assists, defends, or pleads for another, one
who renders legal advice and aid and pleads the cause of another
before acourt or tribunal, a councellor.erson learned and the law and
duly admitted to practice, who assists his client with advice, and
pleads for him in open court. “Advokat
meraih derajat mulia arena membantu kaum papa dalam perkara, sama
dengan dokter menolong orang sakit. Bantuan hukum menjadi signifikan
ketika sistim hukum pidana belum melewati titik keterpaduan.
Sejatinya tujuan kerjasama dalam komponen dalam sistim adalah
penanggulangan kejahatan. Namun, Dalam sistim yang rapuh, sangat
mungkin si miskin dijadikan objek penyiksaa, diperlakakan tidak adil,
dan perendahan martabat.
Itu
merupakan efek ketimpangan wewenang komponen tadi. Polisi memang
bertugas mencari kesalahan, jaksa pun mencari dalil untuk menuduh ,
hakim menimbang akta dan aturan untuk memutus, sipir pengasuh pelaku
yang dihukum. Disini avokat hadir mengusung bantuan hukum guna
memetahkan arbitrary proses ( proses yang semena-mena ). Targetnya
adalah due proses of
law ( proses hukum
yang benar ) agar kelompok terbawah memoeroleh hak minimalnya,
sepertimembei penjelasan , didampingi advokat , kesempatan membela
diri, pembuktian yang sah, dan pengadilan yang tidak memihak.
Rujukannya
adalah prinsip justice
for all ( keadilan
untuk semua ) dan equality
before the law (
persamaan dihadapan hukum ). Dengan begitu advokat tidak membedakan
latar, etnis, idiologi, agama pihak yang dibantu. Bahkan bantuan
hukum ini bersifat pro
bono public ( hak
rakyat tanpa bayar ).
Salah
satu hambatan terbesar untuk memerangi parktik mafia hukum
diindonesia adalah miskinnya pemahamn kita terhadap advokat.
Pertanyaan lanjutan yang muncul , mengapa advokat ?
Untuk
menjelaska hal tersebut saya mau memulai dengan sebuah anekdot yang
dilontarkan oleh Prof. JimlymAsshidiqie dalam sebuah diskusi tentang
pembaharuan KUHAP ini dikantor wantimpres beberapa waktu lalu.
“ Setiap
orang mendapatkan sesuatu dari proses peradilan.polisi adalah “
pemeras “ dan ia mendapatkan sesuatu dari perkara yang ditangani.
Namun ini masih lebih kecil, karena waktu memeras polisi lebih pendek
dari waktu yang dimilik jaksa. Masuk ke peradilan orang bilang bahwa
si tersanka dan terdakwa hanya tinggal tulang, tak ada lagi yang
bisah diperas oleh hakim. Namun jangan salah maih ada sum-sum bagi
para hakim. Lalu siapa yag bisah mendapatkan semuanya? Jawabanya
advokatlah orangnya. “
Sudah
menjadi rahasia umum, advokat menjad bagian yang berkontribusi besar
dalam menumbuhsuburkan praktik mafia keadilan. Anekdot dan cemoan
public yang menggerus dan mencampakan kedudukan advokat dari posisi
yang mulia menjadi yang hina tidak juga mampu menggugah asosisi
sdvokat untuk mengambil langkah-lankah progresifuntuk ambil bagian
dalam emberantas mafia hukum.
Para
advokat turut serta menyuburkan prsktik msfis hukum dimulai dari
hal-hal yang paling sederhana seperti memberikan tips dan suap
kecil-kecillan dalam hal-hal menyangkut birokrasi -peradilan, sampai
pada kongkalikong besar-besaran yang melibatkan polisi, jaksa dan
hakim. Gambaran itu mungkin bisa kita saksikan sekarang dalam kasus
Gayus Tambunan dan mafia pajak.
Praktik
ini terus terjadi dan dilakukan setiap hari oleh oknum advokat. Semua
mungkin di awali oleh hal sederhana, yakni keengganan untuk
besusah-susah menghadapi birokrasi peradilan yang menyita waktu.
Namun juga sebagian yang lain, alasanya adalah untuk menjaga relasi.
Suap dengan nilai mulai dari Rp 50,000 dimulai dari proses
pendaftaran surat kuasa, biaya ekstar untuk mempercepat proses
pendaftaran gugatan, pendaftaran permohonan eksekusi, dan masih
banyak pos-pos administrasi lainya. Demikianlah para advokat
berkonstribusi menyuurkan budaya korupsi didunia peradilan. Kini dan
kedepan pantaslah kiranya kita sebut mereka sebagai pengacara buruk,
namun juga telah menghancurkan kredibilitas profesi advokat secara
keseluruhan.
Memang
masih ada sebagian advokat yang menolak semua praktik ini. Walaupun,
tentu saja dengan risiko kesulitan yang akan dihadapi selama proses
peradilan berlangsung. Bagi para advokat dan juga aktivis bantuan
hukum di LBH mungkin sudah terbiasa dengan hal ini, dan paara
birokrat korup pun biasanya mengidari “ membuat masalah “ dengan
para advokat pro bono ini.
Akan
tetapi yang kita inginkan, bukan saja mereka menghindari membuat
masalah dengan para advokat LBH, mereka juga seharusnya menghindari
membuat masalah dengan para advokat pada umumnya. Tujuan ini hanya
akan terjadi jika para advokat mau dan berkhehendak kuat untuk
menolak praktik-praktik suap kecil-kecilan ini dan berani “
mempermasalahkan “ jika terus mengalami pemerasan kecil-kecilan
oleh para birokrasi peradilan. Disinilah pentingnya peran asosiasi
advokat untuk memproteksi anggotanya. Jangan sampai organisasi
advokat justru membela mereka yang terlibat dalam jerat simpul mafia
hukum.
Satu
agenda reformasi advokat kedepan yang paling penting menurut hemat
saya adalah bagaimana membangun dan memperkuat sistim pengawasan kode
etik advokat yang lebih mumpuni dan lebih luas membangun
akuntabilitas advokat.
Akuntabilitas
ini misalnya dapat ditempuh dengan cara memberikan laporan kepada
public mengenai kinerja organisasi, kinerja dewan kehormatan advokat,
termasuk mengumumkan kepada public beberapa banyak kasus yang di bawa
ked an diputuskan oleh dewan kehormatan advokat. Lebih jauh lagi
mengumumkan siapa-siapa saja advokat nakal yang telah dijatuhi
hukuman.
Laporan
ini penting dan akan bermanfaat bagi public, karena public juga
melakukan eksaminasi dan bahkanapresiasi atas kinerja organisasi
adokat dan dewan kehormatan advokat. Bahkan ketika advokat yang telah
di jatuhi hukuman dewan kehormatan advokat ini berpindah ke
organisasi advokat lain untuk menyelamatkan diri dan menghindari
sanksi, efek jera akan tatap terjadi karena public mengetahui
kredibelitas advokat yang bersangkutan. Public juga akan menyangsikan
kredibilitas organisasi advokat yang telah menampung si advokat nakal
tersebut.
Pegawasan
internal akan lebih efektif dengan cara menjemput bola. Caranya,
bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat sipil, membuat pos-pos
pengaduan advokat nakal. Selain itu, penting untuk menyebarluaskan
informasi mengnai keberadaan dewan kehormatan advokat dan mekanisme
yang dapat dan mudah dijangkau masyarakat untuk melaporkannya.
Selain
memperkuat pengawasan internal, pengawasan eksternal dengan
menggandeng seluruh potensi sumber daya hukum di masyarakat juga
terbuka. Kendati saya belum berfikir mengenai bentuk atau lembaga
yang akan melakukan pengawasan terhadap advokat, seperti hal Komisi
Yudisial yang mengawasi hakim, namun pengawasan eksternal sepantasnya
terbuka untuk advokat.
Kalau
ada advokat bersih apa memang ada advokat nakal? Ini soal integritas
bagi rekan advokat yang menjungjung pekerjaan yang mukia dan tidak
menjadikan hina.