Selasa, 27 November 2012

Lintas Hukum

MEWUJUDKAN PROFESI ADVOKAT SEBAGIA PROFESI YANG MULIA
DALAM PENEGAKAN HUKUM

By Ac Fandy Hayoto

Advokat adalah profesi yang dicirikan black’s law dictionary sebagai berikut : “ One who Assists, defends, or pleads for another, one who renders legal advice and aid and pleads the cause of another before acourt or tribunal, a councellor.erson learned and the law and duly admitted to practice, who assists his client with advice, and pleads for him in open court. “Advokat meraih derajat mulia arena membantu kaum papa dalam perkara, sama dengan dokter menolong orang sakit. Bantuan hukum menjadi signifikan ketika sistim hukum pidana belum melewati titik keterpaduan. Sejatinya tujuan kerjasama dalam komponen dalam sistim adalah penanggulangan kejahatan. Namun, Dalam sistim yang rapuh, sangat mungkin si miskin dijadikan objek penyiksaa, diperlakakan tidak adil, dan perendahan martabat.
Itu merupakan efek ketimpangan wewenang komponen tadi. Polisi memang bertugas mencari kesalahan, jaksa pun mencari dalil untuk menuduh , hakim menimbang akta dan aturan untuk memutus, sipir pengasuh pelaku yang dihukum. Disini avokat hadir mengusung bantuan hukum guna memetahkan arbitrary proses ( proses yang semena-mena ). Targetnya adalah due proses of law ( proses hukum yang benar ) agar kelompok terbawah memoeroleh hak minimalnya, sepertimembei penjelasan , didampingi advokat , kesempatan membela diri, pembuktian yang sah, dan pengadilan yang tidak memihak.
Rujukannya adalah prinsip justice for all ( keadilan untuk semua ) dan equality before the law ( persamaan dihadapan hukum ). Dengan begitu advokat tidak membedakan latar, etnis, idiologi, agama pihak yang dibantu. Bahkan bantuan hukum ini bersifat pro bono public ( hak rakyat tanpa bayar ).
Salah satu hambatan terbesar untuk memerangi parktik mafia hukum diindonesia adalah miskinnya pemahamn kita terhadap advokat. Pertanyaan lanjutan yang muncul , mengapa advokat ?
Untuk menjelaska hal tersebut saya mau memulai dengan sebuah anekdot yang dilontarkan oleh Prof. JimlymAsshidiqie dalam sebuah diskusi tentang pembaharuan KUHAP ini dikantor wantimpres beberapa waktu lalu.
Setiap orang mendapatkan sesuatu dari proses peradilan.polisi adalah “ pemeras “ dan ia mendapatkan sesuatu dari perkara yang ditangani. Namun ini masih lebih kecil, karena waktu memeras polisi lebih pendek dari waktu yang dimilik jaksa. Masuk ke peradilan orang bilang bahwa si tersanka dan terdakwa hanya tinggal tulang, tak ada lagi yang bisah diperas oleh hakim. Namun jangan salah maih ada sum-sum bagi para hakim. Lalu siapa yag bisah mendapatkan semuanya? Jawabanya advokatlah orangnya. “
Sudah menjadi rahasia umum, advokat menjad bagian yang berkontribusi besar dalam menumbuhsuburkan praktik mafia keadilan. Anekdot dan cemoan public yang menggerus dan mencampakan kedudukan advokat dari posisi yang mulia menjadi yang hina tidak juga mampu menggugah asosisi sdvokat untuk mengambil langkah-lankah progresifuntuk ambil bagian dalam emberantas mafia hukum.
Para advokat turut serta menyuburkan prsktik msfis hukum dimulai dari hal-hal yang paling sederhana seperti memberikan tips dan suap kecil-kecillan dalam hal-hal menyangkut birokrasi -peradilan, sampai pada kongkalikong besar-besaran yang melibatkan polisi, jaksa dan hakim. Gambaran itu mungkin bisa kita saksikan sekarang dalam kasus Gayus Tambunan dan mafia pajak.
Praktik ini terus terjadi dan dilakukan setiap hari oleh oknum advokat. Semua mungkin di awali oleh hal sederhana, yakni keengganan untuk besusah-susah menghadapi birokrasi peradilan yang menyita waktu. Namun juga sebagian yang lain, alasanya adalah untuk menjaga relasi. Suap dengan nilai mulai dari Rp 50,000 dimulai dari proses pendaftaran surat kuasa, biaya ekstar untuk mempercepat proses pendaftaran gugatan, pendaftaran permohonan eksekusi, dan masih banyak pos-pos administrasi lainya. Demikianlah para advokat berkonstribusi menyuurkan budaya korupsi didunia peradilan. Kini dan kedepan pantaslah kiranya kita sebut mereka sebagai pengacara buruk, namun juga telah menghancurkan kredibilitas profesi advokat secara keseluruhan.
Memang masih ada sebagian advokat yang menolak semua praktik ini. Walaupun, tentu saja dengan risiko kesulitan yang akan dihadapi selama proses peradilan berlangsung. Bagi para advokat dan juga aktivis bantuan hukum di LBH mungkin sudah terbiasa dengan hal ini, dan paara birokrat korup pun biasanya mengidari “ membuat masalah “ dengan para advokat pro bono ini.
Akan tetapi yang kita inginkan, bukan saja mereka menghindari membuat masalah dengan para advokat LBH, mereka juga seharusnya menghindari membuat masalah dengan para advokat pada umumnya. Tujuan ini hanya akan terjadi jika para advokat mau dan berkhehendak kuat untuk menolak praktik-praktik suap kecil-kecilan ini dan berani “ mempermasalahkan “ jika terus mengalami pemerasan kecil-kecilan oleh para birokrasi peradilan. Disinilah pentingnya peran asosiasi advokat untuk memproteksi anggotanya. Jangan sampai organisasi advokat justru membela mereka yang terlibat dalam jerat simpul mafia hukum.
Satu agenda reformasi advokat kedepan yang paling penting menurut hemat saya adalah bagaimana membangun dan memperkuat sistim pengawasan kode etik advokat yang lebih mumpuni dan lebih luas membangun akuntabilitas advokat.
Akuntabilitas ini misalnya dapat ditempuh dengan cara memberikan laporan kepada public mengenai kinerja organisasi, kinerja dewan kehormatan advokat, termasuk mengumumkan kepada public beberapa banyak kasus yang di bawa ked an diputuskan oleh dewan kehormatan advokat. Lebih jauh lagi mengumumkan siapa-siapa saja advokat nakal yang telah dijatuhi hukuman.
Laporan ini penting dan akan bermanfaat bagi public, karena public juga melakukan eksaminasi dan bahkanapresiasi atas kinerja organisasi adokat dan dewan kehormatan advokat. Bahkan ketika advokat yang telah di jatuhi hukuman dewan kehormatan advokat ini berpindah ke organisasi advokat lain untuk menyelamatkan diri dan menghindari sanksi, efek jera akan tatap terjadi karena public mengetahui kredibelitas advokat yang bersangkutan. Public juga akan menyangsikan kredibilitas organisasi advokat yang telah menampung si advokat nakal tersebut.
Pegawasan internal akan lebih efektif dengan cara menjemput bola. Caranya, bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat sipil, membuat pos-pos pengaduan advokat nakal. Selain itu, penting untuk menyebarluaskan informasi mengnai keberadaan dewan kehormatan advokat dan mekanisme yang dapat dan mudah dijangkau masyarakat untuk melaporkannya.
Selain memperkuat pengawasan internal, pengawasan eksternal dengan menggandeng seluruh potensi sumber daya hukum di masyarakat juga terbuka. Kendati saya belum berfikir mengenai bentuk atau lembaga yang akan melakukan pengawasan terhadap advokat, seperti hal Komisi Yudisial yang mengawasi hakim, namun pengawasan eksternal sepantasnya terbuka untuk advokat.
Kalau ada advokat bersih apa memang ada advokat nakal? Ini soal integritas bagi rekan advokat yang menjungjung pekerjaan yang mukia dan tidak menjadikan hina.